Rumah Tempat Kost Bung Karno di Kampung Peneleh Surabaya
Rumah Tempat Kost Bung Karno di Kampung Peneleh Surabaya - Tuanya Kampung Paneleh tidak bermula dari zaman kolonial Belanda. Daerah ini sudah ada dari zaman Singosari. Kampung ini dialiri kali yang dulu bisa dilewati perahu. Di Peneleh, atau Paneleh, kali itu diapit dua jalan yang kerap dilalui orang dan kendaraan beroda. Banyak penelitian menyebutkan, di kawasan Kampung Peneleh inilah pemuda-pemuda pergerakan nasional ditempa. Tokoh-tokoh seperti Sukarno yang mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) dan proklamator Indonesia dan Semaun yang mendirikan Partai Komunis Indonesia (PKI) pernah tinggal di Peneleh. Selain mereka, Sukarmaji Marijan Kartosuwiryo yang mendirikan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), dan Munawar Musso yang terlibat pemberontakan PKI tahun 1948 di Madiun juga pernah tinggal di kampung itu.
Dari Kampung Peneleh mereka bergerak, meski
pada akhirnya berbeda jalan. Berawal dari Satu Atap Sudah sejak lama Kampung
Peneleh memiliki toko buku. Toko buku itu punya keluarga Abdul Latief Zein dan
terletak tidak jauh dari mulut Jalan Peneleh Gang VII. Tak hanya toko buku, di
kampung Paneleh ini mereka bahkan juga memiliki percetakan. Beberapa meter dari
muka toko buku ini, masih di Jalan Peneleh Gang VII, sebuah rumah yang lebih
tua dari toko buku keluarga Abdul Letif Zein berdiri tegak. Rumah itu pernah
dimiliki orang Tionghoa, sebelum akhirnya dimiliki seorang pedagang Jawa
beragama Islam, Haji Omar Said Tjokroaminoto.
Peneleh tidaklah jauh dari kawasan niaga
Tunjungan, sebuah kawasan yang cukup tenang di tengah Surabaya bagi keluarga
pedagang. Sejak 1907-an, Tjokro tinggal di situ, ketika ia masih bekerja di
perusahaan dagang, sebelum akhirnya terjun ke dunia politik melalui Sarekat
Islam. Meski jauh dari kata megah, rumah itu setidaknya cukup bagi Tjokro
bersama istri, Raden Ayu Suharsikin dan anak-anak mereka — Siti Oetari,
Oetarjo, Anwar, Harsono, Islamiyah, dan Sujud Ahmad. Sejak 1912, Tjokro dan
Suharsikin membuka sebagian rumah mereka untuk disewakan sebagai kos-kosan anak
sekolah. Mereka umumnya merupakan para siswa sekolah menengah elit macam Hogare
Burger School (HBS), Meer Uitgebrid Lager Onderwijz (MULO), juga Middelbare
Technish School (MTS). Salah satu pelajar HBS terkenal yang pernah mondok di
kos-kosan itu adalah Sukarno. Ia menyewa kamar kos di rumah itu sejak 1915.
Hasil dari kos-kosan itu tentu membantu
penghidupan keluarga Tjokro yang anaknya masih kecil. "Rumah itu dibagi
menjadi sepuluh kamar-kamar kecil, termasuk yang di loteng. Keluarga Pak Tjokro
tinggal di depan. Uang pondokan yang harus dibayarkan, seingat Sukarno,
besarnya 11 rupiah. Itu sudah termasuk uang makan. Sukarno menggambarkan betapa
mengenaskannya kamar kos Tjokro di zaman itu. Si bocah priyayi ini mengatakan
rumah Tjokro terbilang "jelek" dan "semua kamar sama
buruknya." Kamar Sukarno sendiri tidak berpintu dan selalu gelap karena
tanpa jendela. Tidak ada kasur yang tersedia di kamar anak-anak kos itu. Mereka
tidur beralaskan tikar pandan. Agar terbebas dari nyamuk, pada zaman Sukarno
sekolah, kelambu adalah solusi.
Namun, Sukarno tidak mampu membeli kelambu.
Sukarno sesungguhnya tidak miskin-miskin amat meski tak bisa beli kelambu. Di
tahun 1917, presiden pertama Indonesia itu bisa punya sepeda Fongers. Di saat
yang bersamaan, ada pula seorang pemuda asal Kediri yang menyewa kamar kos di
rumah Tjokro bersama dengan Sukarno. Pemuda itu bernama Munawar Musso. Sejak
kecil ia dikenal pandai mengaji. Musso lebih tua dari Sukarno dan sekolahnya
tidak se-elit Sukarno. Selain mereka, kata Adrian Pribadi, Semaun, si anak
buruh yang jadi pembela kaum buruh kereta api, juga pernah tinggal dan menyewa
kamar kos di rumah itu sejak 1913. Mereka semua secara tidak langsung belajar
dari Tjokro, yang usianya sudah kepala tiga. Sebagai pedagang sekaligus orang
pergerakan, Tjokro punya banyak kolega yang mengunjunginya. Sukarno dan anak
kos lain tidak jarang bertemu kawan-kawan Tjokro. Makanan Jawa Timur-an yang
lezat kerap mengiringi obrolan politik di ruang makan rumah tersebut. Film
Tjokroaminoto dan Soekarno menggambarkan sekilas bagaimana Sukarno, Musso, juga
Semaun belajar dari guru mereka, Tjokro. Musso dan Semaun digambarkan sebagai
sosok keras berkepala batu. Sukarno, sementara itu, tampak serius belajar
berpidato. Terus Berdenyut Sayang, usaha kos-kosan ini terganggu ketika
Suharsikin tutup usia pada 1921.
Setelahnya, Tjokro yang kemudian menikah
lagi pindah ke Plampitan. Meski pamor sebagai Raja Jawa Tanpa Mahkota tak
selalu bersinar, banyak yang masih ingin berguru pada Tjokro. Usaha kos-kosan
Tjokro akhirnya kembali berjalan. Sejak masih bertempat tinggal di Jalan
Peneleh sampai pindah di Jalan Plampitan, Surabaya Ayah selalu menerima
anak-anak, baik pemuda maupun pemudi, mondok di rumah. Setelah tinggal di
Plampitan, Tjokroaminoto pindah ke Yogyakarta, bersama istri barunya. Meski
Tjokroaminoto sudah pergi dari Kampung Peneleh, menurut Adrian Perkasa, denyut
pergerakan nasional di kampung ini terus berjalan. Setelah Sukarno dan
anak-anak yang pernah kos di rumah Tjokro tersebar ke tempat lain, setidaknya
ada Ruslan Abdulgani yang masih tinggal di Peneleh, tepatnya di Plampitan.
Setidaknya pula, keluarga Zein yang Muhammadiyah dan juga terkait dengan
pergerakan nasional, masih ada di Peneleh, entah lewat toko buku atau
percetakannya. Hingga hari ini, Toko Buku Peneleh milik keluarga Zein masih
menjual buku-buku dan majalah terkait Muhammadiyah. Pendiri Muhammadiyah, Kyai
Haji Ahmad Dahlan pun pernah ke sana.[jw]
.jpg)
Tidak ada komentar: